KENDARI – Langkah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait sengketa lahan Tapak Kuda menuai kritikan tajam dari sisi hukum.
Tindakan DPRD yang mencoba “menengahi” atau “meninjau ulang” kasus yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) ini dinilai berpotensi mengaburkan supremasi hukum dan melanggar batas kewenangan kelembagaan.
Kewenangan DPRD Terbatas: Tak Boleh Intervensi Putusan Pengadilan
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, fungsi DPRD secara tegas hanya mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Tidak ada satu pun pasal yang memberikan wewenang kepada lembaga politik ini untuk menunda, menengahi, apalagi mengintervensi pelaksanaan putusan pengadilan yang bersifat yuridis.
Kuasa Khusus KOPERSON, Fianus Arung, menegaskan bahwa sengketa lahan Tapak Kuda telah selesai secara hukum melalui Putusan PN Kendari No. 48/Pdt.G/1993/PN.Kdi yang sudah inkrah.
“Langkah DPRD yang menyinggung ‘peninjauan ulang dasar hukum eksekusi’ sama sekali tidak memiliki dasar hukum. Ini bukan sekadar tidak etis, tetapi berpotensi mengganggu independensi kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945,” ujar Fianus Arung.
Ia menambahkan, sesuai asas hukum res judicata pro veritate habetur, putusan pengadilan yang inkrah harus dianggap benar dan wajib dilaksanakan.
“Tidak ada lembaga negara, termasuk DPRD, yang dapat membatalkan atau menunda pelaksanaannya. Pengadilan tidak berkewajiban hadir untuk ‘mendengar DPRD’, karena lembaga kehakiman tidak tunduk pada fungsi politik DPRD,” tegasnya, merujuk pada Pasal 1917 KUHPerdata dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kuasa Hukum KOPERSON Tegaskan Pijakan Hukum
Fianus Arung menyatakan bahwa perjuangan KOPERSON adalah penegakan hak hukum yang sah, bukan ambisi pribadi.
Ia memastikan seluruh tindakannya berpijak pada mandat resmi dari pengurus koperasi yang sah, sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
“Hak hukum koperasi tidak boleh diganggu, dihambat, atau dikesampingkan hanya karena tekanan opini atau kepentingan politik. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan, sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam negara hukum, putusan pengadilan yang inkrah bersifat final dan wajib dilaksanakan,” kata Fianus.
Ia juga memperingatkan pihak manapun agar berhati-hati dalam mencoba menghalangi penegakan hukum.
“Saya pastikan akan berhadapan dengan hukum dan pasti diproses hukum,” tutupnya.
Rekomendasi DPRD Tidak Mengikat Hukum
Perlu dipahami, putusan pengadilan adalah sumber hukum, sementara RDP DPRD hanyalah forum politik aspiratif.
Berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD, Pasal 106 ayat (1) dengan jelas menyebutkan: “Rekomendasi DPRD bersifat saran dan tidak mengikat secara hukum.”
Dengan demikian, hasil RDP tidak memiliki kekuatan hukum untuk menunda atau membatalkan eksekusi yang telah diputuskan pengadilan.
Jika rekomendasi DPRD digunakan untuk menghambat pelaksanaan hukum, tindakan itu dapat dianggap sebagai pelanggaran wewenang (detournement de pouvoir) dan melanggar asas due process of law.
Sengketa Tapak Kuda telah diselesaikan melalui seluruh jalur hukum resmi. Pihak-pihak yang kembali mempersoalkan putusan inkrah ini dinilai bukan lagi berupaya hukum, melainkan upaya menghambat hukum, yang merupakan pelanggaran terhadap asas supremasi hukum (rule of law).
Editor : Agus Setiawan