Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) masih dipandang ‘berwajah ganda’ disatu sisi dibutuhkan sebagai penopang ekonomi nasional (nilai strategis), sisi lain secara empiris tertinggal.
Nilai strategis yang dimaksud bahwa UMKM telah terbukti tangguh menghadapi krisis moneter seperti tahun 1997-1998, krisis keuangan global tahun 2008, dan hantaman Covid 19 tahun 2020-2022.
Memang ironis, UMKM belum menjadi arus utama dalam kebijakan dan program pembangunan ekonomi nasional, kalah pamor misalnya dari industri manufaktur.
Barulah akhir-akhir ini pemerintah Indonesia menggalakan berbagai kebijakan dan program penguatan UMKM.
Secara gradual UMKM Indonesia memang terus bertumbuh. Data BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM (2020) menunjukan tahun 1986 jumlah usaha mikro hanya 1,4 juta unit naik menjadi 48,1 juta unit pada 2006 dan di tahun 2019 sudah mencapai 65,4 juta unit.
Sementara usaha kecil dari 94.534 unit tahun 1986 naik menjadi 472.602 unit di tahun 2006 dan tahun 2019 sudah mencapai 798.679 unit. Adapun usaha menengah tahun 1986 (n/a) dan tahun 2006 tercatat 36.763 unit, lantas terus bertumbuh yang di tahun 2019 sudah di angka 65.465 unit.
Sebagai pembanding, jumlah usaha besar hanya 12.765 pada tahun 1986 kemudian turun menjadi 4.577 unit pada 2006 dan 2019 kembali naik tipis menjadi 5.637 unit. Sayangnya, pertumbuhan UMKM tersebut masih kuantitatif, sementara tingkat daya saing (kompetitif) masih rendah.
Kontribusi UMKM sangat besar. Mengutip data Kemenko Perekonomian (Oktober 2022) UMKM berkontribusi 60,5% terhadap PDB, dan menyerap tenaga kerja sekitar 96,9% dari total penyerapan tenaga kerja nasional.
Sedangkan kontribusi ekspor UMKM terhadap GDP naik dari 14,37% pada 2020 menjadi 15,69% pada 2021. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kontribusi pada GDP kita masih kalah jauh.
Cina dan India misalnya kontribusi eskpor UKM mencapai 40%, Korea Selatan 19%. Bahkan ekspor UKM Jepang berkontribusi 50% pada GDP, Malaysia 46,2%, Thailand 29,6%.
Fakta-fakta tersebut membenarkan apa yang diprediksi oleh John Naisbit (1994) bahwa perkembangan ekonomi dunia di abad 21 akan di dominasi oleh UKM. Naisbit mendalilkan bahwa negara yang memiliki jaringan yang kuat pada usaha kecil akan berhasil dalam persaingan di pasar internasional.
Ada ragam hambatan yang membentang sehingga UMKM kita kalah bersaing dibandingkan negara-negara tersebut dan ini terjadi antar daerah, desa-kota, antar sektor
di dalam negeri yang intensitasnya berbeda.
Hambatan berupa kesulitan pemasaran, distribusi, dan pengadaan bahan baku, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (SDM), pemanfaaatan teknologi termasuk pemasaran berbasis media sosial dan marketplace, biaya transportasi, prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya perizinan, ketidakpastian sebagai dampak peraturan kebijaksanaan ekonomi yang tak menentu.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat UMKM Indonesia bisa bersaing
di pasar regional dan internasional, atau setidaknya menjadi tuan di negara sendiri.
Pertama-tama yang harus dipikirkan adalah meningkatkan SDM pelaku UMKM sehingga tantangan diera disrupsi seperti inovasi dan teknologi bisa terkejar.
Selanjutnya, stakeholder terkait harus mempermudah legalitas-perizinan, tanmpa menabrak aturan hukum, disini hukum harus responsif atas dinamika UMKM.
Berkelindan dengan itu, menggenjot produktivitas, membuka akses pembiayaan secara merata keseluruh pelaku UMKM, memenuhi standardisasi dan sertifikasi ISO, perlunya basis data tunggal, yang jarang diperhatikan para stakeholder.
Tidak kalah penting pengembangan technical assistance, business development services – market support and branding, conecting to regional and global supply chains. Kemudian pendampingan dalam pendaftaran e-katalog, penerbitan NIB, sertifikasi halal, dan BPJS Ketenagaerjaan bagi pekerjanya.
Selanjutnya mengurangi gender gap dan ini sangat krusial dalam tata kelola UMKM kita mengingat 64,5% dari total UMKM dikelola perempuan (BPS, 2021).
Meskipun perempuan (tangguh) ini terus berproduksi, perlakuan tidak adil (kesetaraan) terutama credit barriers, experiences, lack of relevant networks and societal position, dan difficulty time management masih cukup tinggi.
Hambatan modal misalnya kajian International Finance Corporation (IFC), 80% dari UMKM perempuan memiliki kebutuhan kredit dan tidak terlayani atau kurang terlayani dengan baik.
Lihat saja peringkat Indonesi di Global Gender Gap tahun 2021 masih di posisi 101 dari 156 negara. Padahal sebagaimana laporan Mc. Kinsey (2015), bahwa upaya meningkatkan kesetaraan gender berpotensi meningkatkan GDP Global sebesar $12 triliun pada tahun 2025. Percepatan kesetraan gender juga bisa memberikan peningkatan PDB bagi Indonesia, sekitar USS 135 miliar/tahun.
Agar UMKM memiliki prospek yang cerah di masa mendatang diperlukan lingkungan yang mendukung, setidaknya ada empat hal: a transparent, open, fair and competitive business framework; clear, independent rule of law for all firms; easy establishment and dissolution of businesses; equal and stable legal treatment for national and cross-border transactions.
Keempat hal ini sangat penting karena business enabling environment dapat mengurangi biaya baik pada sektor swasta maupun pemerintah, meningkatkan produktivitas, dan mendorong pertumbuhan.
Jika business enabling environment bisa ditingkatkan maka ada keuntungan berupa terciptanya lapangan kerja dan pendapatan; peningkatan perdagangan; dan bisa mengurangi korupsi.
Dengan demikian, support terhadap pengembangan UMKM Indonesia melalui technical assistance, inovation, business development services – market support, dan onecting to regional and global supply chains menjadi hal yang tak bisa di tawar lagi.
Lebih teknis, pemerintah harus memberikan paket kebijakan terutama di segmen permodalan dan pemanfaatan teknologi digital–media sosial secara cepat, tepat dan murah.
Lembaga keuangan dalam memberi kredit usaha rakyat (KUR) kepada UMKM, tidak cukup hanya dengan suku bunga yang rendah, namun pemerintah bisa membuat sistem penjaminan KUR dengan meminta Himbara yang selama ini sudah mengucurkan kredit, tidak hanya melihat relasi ini dalam konteks bisnis perusahaan, tetapi dalam konteks yang lebih luas bahkan ideologis, dimana visi ekonomi kerakyatan (ekonomi Pancasila) sebagaimana semangat para pendiri Republik ini hadir untuk kesejahteraan umum.
Penjaminan kredit ini tentu tidak berjalan begitu saja, tetap ada mekanisme kontrolnya.
Dalam hal keterbatasan akses pasar selain terus melakukan inovasi untuk bersaing
di pasar konvensional, sudah saatnya pemasaran produk UMKM memanfaatkan platform digital.
Pemanfaatan media sosial seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, TikTok, Twiter, Youtube, Telegram, dan beragam platform lainnya menjadi keharusan mengingat data atau hasil riset menunjukan bahwa pemanfaatan media sosial untuk memasarkan produk UMKM dapat meningkatkan penjualan hingga lebih dari 100% karena mampu menjangkau konsumen lebih luas. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diminta Presiden Joko Widodo agar 30 juta UMKM go digital di tahun 2024 bisa tercapai.
Kata kuncinya, UMKM harus terus berinovasi dan adaptif pada teknologi dan ini memerlukan SDM yang punya kapasitas dan kapabilitas, disisi lain spesialisasi diperlukan sehingga tercipta keunggulan kompetitif berupa efisiensi kegiatan usaha. Tak kalah mendesaknya, mendorong praktek UMKM yang presisi (terutama membaca peluang pasar), aman dan ramah lingkungan.
Agar UMKM berkontribusi lebih besar pada PDB dan GDP Indonesia, mengharuskan adanya komitmen dan kolaborasi multipihak sehingga bisa naik kelas.
Karena ini era desentralisasi, maka pemerintah daerah dengan kordinasi Kementrian/Lembaga terkait dan terintegrasi dengan perusahaan – perusahaan yang telah eksisting akan menghasilkan produk yang murah dengan kualitas bagus dan pengiriman tepat waktu. Singkatnya, antara UMKM dengan perusahaan besar saling terhubung untuk saling menopang.
Dalam kerangka itulah, UMKM kita bisa maju dan mandiri dengan mengedepankan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (ekonomi Pancasila) sesuai amanat kemerdekaan Indonesia yang salah satunya “mengantarkan rakyat Indonesia yang makmur-kesejahteraan umum” yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 akan tercapai. (*)
Discussion about this post