KENDARI – Pernyataan publik Kepala BPN Kota Kendari, Fajar, dan Kabid Penetapan Hak Kanwil BPN Sultra, Ruslan Emba, terkait status lahan Tapak Kuda milik Koperasi Kopperson kembali memantik kontroversi.
Kedua pejabat ini dinilai melontarkan keterangan yang tidak konsisten, berubah-ubah, dan berpotensi menggiring opini publik yang keliru.
Kuasa Khusus Kopperson, Fianus Arung, memperingatkan keras agar Fajar dan Ruslan berhati-hati dalam berbicara di ruang publik, mengingat keduanya merupakan penyelenggara negara yang terikat sumpah jabatan.
“Ruslan Emba dan Fajar selaku pegawai Badan Pertanahan di bidangnya masing-masing harus berhati-hati memberikan pernyataan di ruang publik. Jangan sampai blunder dan berakibat senjata makan tuan karena ego dan kepentingan yang ingin dilakukan,” tegas Fianus Arung di Kendari, Kamis (11/10/2025).
Dugaan Konspirasi Gagalnya Sita Eksekusi 2018
Fianus Arung mengungkapkan, persoalan ini semakin ironis lantaran BPN sendiri diduga sengaja tidak hadir saat Pengadilan Negeri Kendari meminta penunjukan batas pada tahun 2018.
Ia merujuk pada arsip Pengadilan Negeri Kendari dengan nomor surat W23.U1/2163/HK/02/12/2018 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Kendari, yang menyebutkan “tidak ada yang hadir tanpa alasan yang jelas.”
“Fakta ini sangat menguatkan bahwa kerjaan mereka, BPN Kota Kendari, ingin menggagalkan sita eksekusi dengan tujuan yang diduga sarat kepentingan,” ujar Fianus.
Menurut Fianus, ketidakhadiran pejabat BPN saat diperintahkan pengadilan adalah bentuk perlawanan hukum yang berpotensi pidana.
“Kalau pengadilan sudah memerintahkan, lalu pejabat negara tidak hadir dan tidak menjalankan perintah, itu sama saja dengan melawan hukum dan menghambat pelaksanaan putusan pengadilan,” tegasnya, sembari mengancam bahwa insiden 2018 tidak akan terulang di tahun 2025.
Menyoroti Pernyataan Blunder dan Kontradiksi
Pihak Kopperson juga menyoroti inkonsistensi dan kontradiksi pernyataan kedua pejabat BPN tersebut.
Fianus menyoroti pernyataan Fajar yang menyebut surat ukur Kopperson, yang jelas ditandatangani pejabat berwenang BPN, sebagai “bukan produk BPN.”
“Lucu dan memalukan. Surat ukur tersebut jelas produk resmi BPN. Kalau sekarang mereka menyangkal produk mereka sendiri, berarti mereka sedang menembak kaki sendiri,” kritiknya.
Lebih lanjut, ia menyinggung inkonsistensi Ruslan Emba yang beberapa waktu lalu di Aula Kanwil ATR/BPN mengatakan pernah mendudukkan peta HGU Kopperson di Tapak Kuda dan itu “mudah dilakukan,” namun kini tiba-tiba menyatakan lokasinya tidak jelas.
Fianus juga mengungkit pengakuan Ruslan Emba di forum yang sama bahwa ia pernah menandatangani SHM di atas lahan Kopperson dan menyebut dirinya ‘kena jebakan Batman’ oleh pemohon sertifikat.
“Kalau bukan kepentingan, apa namanya? Hati-hati Pak Ruslan, jangan main api, nanti kebakar,” ucap Fianus.
Ancaman Hukum bagi Pejabat Publik
Fianus mengingatkan bahwa sebagai penyelenggara negara, ucapan Fajar dan Ruslan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab hukum.
Ia mengacu pada Pasal 10 dan 24 UU No. 5/2014 tentang ASN mengenai kewajiban profesional dan netralitas, serta Pasal 216 dan 421 KUHP yang mengancam pidana bagi pejabat yang menghambat perintah jabatan atau menyalahgunakan kekuasaan.
“Fajar dan Ruslan bukan hanya bicara sebagai individu. Kalau mereka sengaja menghambat putusan pengadilan atau mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan publik, itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,” tandasnya.
Kopperson menegaskan akan terus berjuang sesuai koridor hukum dan menuntut pejabat BPN bekerja sesuai aturan, bukan atas tekanan atau kepentingan.
Editor : Agus Setiawan
Discussion about this post