Kekuasaan dan Para Oportunis
Kekuasaan pada dasarnya adalah alat ia netral, bergantung pada siapa yang menggenggam dan untuk tujuan apa. Namun kekuasaan selalu mengundang: bukan hanya mereka yang ingin mengabdi, tapi juga mereka yang lihai membaca peluang untuk kepentingan diri.
Di sekeliling kekuasaan, oportunis bergerak lincah. Mereka bukan pemikir, bukan pula pejuang. Mereka ahli membaca arah angin. Hari ini mereka bersumpah demi kebenaran, besok mereka bersulang dengan kebusukan, selama kursi dan fasilitas tetap terjaga.
Para oportunis tak pernah peduli pada visi. Mereka hanya peduli posisi. Tak punya nilai, tapi pandai menempel pada siapa pun yang sedang berkuasa. Mereka menjilat hari ini, siap menusuk esok hari, tergantung ke mana arus keuntungan mengalir.
Kekuasaan yang sehat seharusnya menolak menjadi sarang bagi para pemangsa oportunitas. Namun tak sedikit pemilik jabatan yang justru memelihara mereka karena oportunis pandai memuja, dan pujian bisa membutakan akal sehat.
Dalam sistem yang lemah, oportunis naik jabatan. Mereka menyusup dalam proyek, menari dalam program, menjarah dalam kebijakan. Rakyat dibiarkan menunggu janji, sementara para pencari celah sibuk membagi kue.
Dan di sinilah kita bertanya, Apakah kekuasaan telah menjadi lahan subur bagi persekongkolan kepentingan, atau masih tersisa ruang bagi kepemimpinan yang tulus ?
Karena selama oportunis tetap berjaya, maka suara rakyat hanya akan menjadi gema yang mengambang tak didengar, tak dianggap, dan tak diubah menjadi kebijakan.
Oportunis Merusak Tatanan
Tatanan dibangun oleh nilai. Ia tegak oleh kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan akal sehat yang lurus. Namun semua itu bisa runtuh bukan hanya oleh musuh terang-terangan, tapi oleh mereka yang berselimut senyum dan basa-basi manis para oportunis.
Oportunis bukan pemberontak, mereka tak membuat gaduh di luar pagar. Mereka masuk lewat pintu depan, menyamar jadi pendukung, jadi rekan kerja, jadi pembisik keputusan.
Mereka hadir di rapat-rapat, menandatangani dokumen, bahkan menyanyikan lagu kebangsaan namun semuanya dengan niat licik yang tersembunyi mengambil bagian tanpa berkontribusi, mendapat untung tanpa menanggung risiko.
Tatanan yang semula disusun rapi atas nama kepentingan bersama, dirusak dari dalam. Aturan dilenturkan demi kedekatan, Prestasi diabaikan demi loyalitas semu, Pengabdian kalah oleh penjilatan.
Oportunis membuat sistem kehilangan arah. Mereka menjual moral demi momen, menukar prinsip dengan proyek, dan mengubah kepercayaan menjadi komoditas.
Mereka membunuh meritokrasi dan membiarkan mediokritas tumbuh subur.Mereka tak membakar rumah, tapi merusaknya perlahan dari dalam, Mereka tak menolak aturan, tapi mengubahnya untuk kepentingan sendiri, Mereka tak menghancurkan pemimpin, tapi menyesatkannya dengan sanjungan yang memabukkan.
Dan yang paling berbahaya: oportunis membuat kehancuran terlihat normal. Ketika rusak dianggap wajar, ketika salah dianggap strategi, maka tatanan tinggal menunggu waktu untuk ambruk. Jika tatanan ingin diselamatkan, maka oportunis tak boleh diberi tempat.
Mereka bukan sekadar pembonceng, tapi virus laten dalam sistem, dan satu-satunya obat adalah keberanian untuk menolak kemunafikan dengan integritas, ketegasan, dan nurani yang tetap hidup.
Prestasi Diabaikan demi Loyalitas Semu
Di ruang-ruang birokrasi dan organisasi, seharusnya prestasi menjadi tolok ukur utama. Kerja keras, dedikasi, dan pencapaian adalah bukti nyata dari seseorang yang layak diberi kepercayaan.
Namun apa jadinya ketika semua itu dikalahkan oleh loyalitas semu ?, Loyalitas semu bukan kesetiaan pada nilai, tapi pada orang, Bukan kepada visi, tapi kepada kekuasaan, Bukan kepada lembaga, tapi kepada kelompok yang sedang berkuasa.
Dalam sistem yang sudah terkontaminasi, promosi bukan lagi soal kapasitas, tapi kedekatan. Mereka yang berpikir kritis dianggap pembangkang, dan mereka yang menyembah dianggap setia.
Lalu muncullah barisan penjilat, berdasi rapi, membawa senyum palsu, tapi kosong kontribusi. Orang yang punya ide dibiarkan di pojok, Yang bekerja keras dilupakan, yang berpikir jernih ditenggelamkan oleh tepuk tangan palsu.
Akibatnya, organisasi kehilangan arah. Keputusan diambil bukan berdasarkan data, tapi demi menjaga posisi. Inovasi mandek, motivasi hancur, dan yang tertinggal hanyalah teater loyalitas yang terus dipertontonkan demi ilusi stabilitas.
Prestasi yang diabaikan adalah bentuk pembunuhan karakter, dan loyalitas semu yang diberi panggung adalah bom waktu yang menanti pecah, Jika bangsa ingin maju, jika lembaga ingin sehat, maka harus ada keberanian untuk mengembalikan penghargaan kepada prestasi bukan basa-basi. Kesetiaan sejati bukan soal menjilat atasan, tapi menjaga integritas institusi dan melayani masyarakat dengan nyata.
Pengabdian Kalah oleh Penjilatan
Dalam setiap sistem yang sehat, pengabdian adalah puncak dari integritas. Ia tak selalu bersuara lantang, tapi nyata dalam kerja, dalam kesungguhan melayani, dan dalam keikhlasan menghadirkan manfaat.
Namun di dunia yang mulai kehilangan nilai, pengabdian sering kalah oleh penjilatan. Penjilatan adalah jalan pintas, Ia tak butuh kerja keras cukup dengan memuji, mengikuti, dan memuaskan hasrat atasan, Ia bukan soal kemampuan, tapi soal bagaimana tampil menyenangkan di mata kekuasaan.
Orang yang mengabdi sungguh-sungguh kerap dicurigai, dianggap mengancam, bahkan disingkirkan karena tak pandai bersandiwara. Sementara para penjilat justru naik pangkat, masuk lingkaran dalam, dan mengatur arah tanpa kapasitas.
Inilah tragedi birokrasi yang sedang sakit, di mana ketulusan dibilang pencitraan, keberanian dianggap pembangkangan, dan kerja nyata dikalahkan oleh tebar pesona.
Ketika penjilatan lebih dihargai daripada pengabdian, maka sistem kehilangan jiwanya. Kebijakan tidak lagi lahir dari keadilan, tapi dari balas budi dan rasa sungkan. Lembaga menjadi rapuh, karena fondasinya bukan lagi nilai, tapi relasi.
Penjilatan adalah Kehinaan yang Dibungkus Formalitas
Ia datang dengan jas resmi, tersenyum lebar, bicara sopan, dan selalu hadir di barisan depan saat atasan berbicara, tapi di balik semua itu, ada jiwa yang rela merendahkan martabat demi kedekatan.
Penjilatan bukan lagi aib, tapi dianggap strategi. Bukan lagi menjijikkan, tapi justru dilihat sebagai “kecerdikan”.Namun satu hal yang harus kita sadari, Penjilatan adalah kehinaan yang dibungkus formalitas, Ia menyamar sebagai loyalitas, Ia berkedok etika, Ia bersembunyi dalam keramaian seremoni.
Penjilat tahu cara menyusun kalimat manis, Mereka paham waktu untuk mengangguk, dan kapan harus tertawa meski tak lucu, Tapi satu hal yang tak pernah mereka miliki, yakniintegritas.
Sementara mereka terus naik karena pujian palsu, para pekerja tulus hanya menjadi pelengkap sistem. Ide-ide jernih dikalahkan oleh bisikan yang memanjakan ego. Sistem yang seharusnya berjalan dengan nilai dan akal sehat, dikotori oleh drama kedekatan dan transaksionalitas loyalitas.
Penjilat tidak membangun mereka hanya menempel, mereka tidak berani jujur, karena kebenaran bisa membuat mereka kehilangan posisi, dan itulah kehinaan terbesar, ketika seseorang membuang harga dirinya demi diterima oleh kekuasaan.
Ketiak Pejabat Jadi Naungan Penjilat
Di balik setelan rapi dan senyum formal, ada ruang sempit di bawah kekuasaan yang disesaki oleh para penjilat mereka yang memilih berteduh di bawah ketiak pejabat, bukan karena kagum pada kepemimpinan,melainkan demi remah kekuasaan, fenomena ini bukan hal baru.
Ketika jabatan menjadi magnet, bukan untuk pelayanan tapi untuk keuntungan, muncullah barisan orang yang siap menyembah demi posisi, proyek, atau pengakuan semu, mereka tak peduli etika, tak malu kehilangan harga diri. Mereka membenarkan segala kebijakan, bahkan yang merugikan rakyat, asal aroma keuntungan bisa mereka hirup.
Pejabat yang bijak seharusnya tak memberi ruang bagi para penjilat. Namun tak jarang, justru para pemilik jabatan menikmati sanjungan palsu itu, karena di sanalah ego dibesarkan, ilusi kepemimpinan dikuatkan, dan kritik dianggap ancaman. Dalam logika kehidupan, jabatan adalah amanah, bukan altar untuk dipuja.
Tapi ketika penjilat merasa nyaman berlindung di ketiak kekuasaan, dan pejabat merasa bangga punya pelayan-pelayan lidah, maka rusaklah tatanan. Kebijakan tak lagi berpihak pada kebenaran, tapi pada kepentingan.
Maka waspadalah…!!!, Jangan sampai ruang kekuasaan berubah jadi panggung sandiwara, di mana rakyat hanya jadi penonton, dan para penjilat jadi aktor utama
Mengendalikan Sikap Penjilat, Menjaga Marwah Organisasi
Dalam tubuh organisasi, penjilat bukan hanya benalu mereka adalah parasit yang bisa merusak fondasi keadilan dan profesionalisme.
Mereka hadir dengan senyum manis, pujian yang menghangatkan telinga, dan loyalitas palsu yang tampak meyakinkan, namun di balik semua itu tersembunyi niat mencari keuntungan pribadi, bukan untuk memperkuat sistem, melainkan untuk memanjatnya.
Jika tidak dikendalikan, penjilatan akan menjadi budaya. Dan ketika itu terjadi, organisasi tak lagi tumbuh karena kinerja, tapi karena kedekatan.
Orang-orang berkualitas tersingkir, ruang berpikir dikerdilkan, dan yang tersisa hanyalah gemuruh tepuk tangan palsu yang membutakan pimpinan. Lantas, bagaimana cara mengendalikan sikap penjilat …!!!
Pertama, kita harus menegakkan sistem berbasis meritokrasi.
Sistem harus menghargai prestasi, bukan kedekatan. Semua bentuk promosi, penghargaan, dan peluang harus ditimbang berdasarkan kinerja nyata, bukan basa-basi relasi. Bila yang rajin bekerja merasa tidak dihargai, dan yang pandai menjilat justru naik pangkat, maka kerusakan tinggal menunggu waktu.
Kedua, tumbuhkan komunikasi dua arah.
Pemimpin yang hanya mau mendengar sanjungan akan dikelilingi para pembohong. Maka suara kritis harus dibuka jalannya. Ruang diskusi, evaluasi bersama, bahkan mekanisme umpan balik yang sehat harus dibudayakan. Keberanian berbicara adalah penyeimbang terhadap dominasi pujian palsu.
Ketiga, seleksi kepribadian dalam setiap rekrutmen dan promosi.
Jangan hanya nilai teknis, lihat juga jejak integritas dan nilai karakter. Kita tidak butuh orang yang pintar menyusun kata, tapi yang jujur dalam bekerja, penjilat bisa menyembunyikan kelicikan di balik kerendahan hati yang dibuat-buat. Maka berhati-hatilah.
Keempat, jadilah pemimpin yang memberi teladan.
Pemimpin yang tegas, adil, dan tidak mabuk pujian akan mematikan ruang gerak penjilat. Mereka akan menjauh karena tak ada ruang untuk menempel, sebaliknya, pemimpin yang menikmati dipuja akan menciptakan lingkungan penuh topeng, penuh sandiwara.
Kelima, perkuat budaya organisasi yang menolak penjilatan secara sosial.
Penjilatan harus dianggap sebagai aib moral, bukan keterampilan sosial, biarkan yang tulus bersinar, dan yang licik tersingkir, jangan beri ruang pada mereka yang bersembunyi di balik loyalitas semu.
Keenam, tegakkan transparansi dalam setiap keputusan. Penjilat sering berkeliaran di ruang-ruang gelap, memanfaatkan kekosongan informasi, dokumentasikan setiap rapat, buka jalur klarifikasi, dan libatkan pihak ketiga bila perlu, transparansi adalah cahaya yang membuat mereka tak nyaman.
Dan ketujuh, edukasi nilai etika secara berkelanjutan. Organisasi yang sehat bukan hanya soal target tercapai, tapi juga bagaimana ia mencapainya. Pendidikan integritas harus menjadi napas yang terus dihirup bersama. Tanpa kesadaran nilai, orang akan memilih jalan pintas dan penjilatan adalah jalan pintas termudah.
Meredam Sikap Oportunis
Dalam dunia yang terus bergerak dan sistem yang semakin kompleks, muncul satu jenis manusia yang bukan membangun, tetapi menempel bukan mendorong kemajuan, tetapi justru menghambatnya dari dalam, mereka adalah para oportunis individu yang tidak mengabdi pada nilai, melainkan pada celah.
Mereka tak tertarik pada keadilan, tapi pada kesempatan yang bisa dimanipulasi demi diri sendiri. Oportunis tidak selalu terlihat mencolok. Mereka sering tampil rapi, tahu kapan berbicara, pandai membungkus kepentingannya dengan bahasa loyalitas.
Tapi satu hal yang pasti: mereka hadir bukan untuk melayani, melainkan memanfaatkan sistem. Jika dibiarkan, oportunisme akan menjadi budaya.
Ia akan membuat integritas terlihat bodoh, membuat orang yang jujur dianggap keras kepala, dan membuat sistem lebih menghargai kedekatan daripada kapasitas. Itulah awal dari kerusakan perlahan tapi pasti, menjalar dari ruang rapat, meja kerja, hingga ruang pengambilan keputusan publik.
Maka kita tidak boleh diam, Sikap oportunis harus diredam, Dan cara paling dasar adalah dengan mengembalikan marwah pengabdian. Sistem harus kembali memuliakan prestasi, bukan pujian, Penghargaan harus diberikan pada yang berkarya, bukan yang dekat, Keputusan harus ditimbang dengan etika, bukan bisikan.
Kita butuh ruang kerja yang jernih dari intrik, lembaga yang berdiri atas nilai, dan pemimpin yang berani menolak “kedekatan tidak profesional.” Karena sekali oportunis diberi tempat, maka seluruh ekosistem bisa rusak: orang baik memilih diam, orang jujur mulai menyerah, dan generasi baru tumbuh tanpa teladan.
Mengikis oportunisme bukan pekerjaan satu hari. Tapi harus dimulai dari sekarang dengan keberanian menolak budaya basa-basi, membangun ruang transparan, dan menegakkan akuntabilitas sebagai prinsip, bukan slogan.
Mengendalikan Orang Oportunis Menjaga Arah agar Tak Dibajak Kepentingan.
Orang oportunis bukan hanya mereka yang cerdas membaca peluang mereka adalah pengendara yang tak peduli siapa yang mereka tabrak, asal bisa sampai lebih dulu. Mereka tidak bekerja untuk membangun, tapi untuk mendompleng, tidak peduli arah organisasi, asal mereka bisa ikut menumpang dan mengambil bagian.
Bahaya terbesar dari oportunis bukan hanya pada ambisinya, tetapi pada kelicikannya.
Mereka pandai menyamar jadi kawan, ahli membungkus niat dengan kata-kata indah, dan mahir memainkan peran sebagai pendukung, padahal mereka hanya setia pada satu hal, kepentingan pribadi, Jika orang oportunis tidak dikendalikan, mereka akan membajak arah organisasi, menumpulkan etika, dan memanfaatkan sistem demi keuntungan sepihak.
Mereka bisa masuk ke dalam tim, memengaruhi pimpinan, bahkan mengatur kebijakan tanpa kapasitas, tanpa legitimasi moral, tanpa kontribusi nyata.
Bagaimana Mengendalikan Orang Oportunis?
Pertama, kenali mereka dari polanya, mereka muncul saat proyek dimulai, tapi menghilang saat masalah datang. Mereka memuji saat ada jabatan, tapi berbalik saat tak diberi bagian. Jangan tertipu oleh basa-basi, waspadai mereka yang terlalu cepat mendekat, terlalu sering memuji, tapi tak punya rekam jejak kontribusi.
Kedua, jangan beri ruang pada loyalitas semu. Orang oportunis tak setia pada visi, hanya pada peluang, maka jangan bangun sistem berdasarkan kedekatan atau bisikan, bangun struktur yang adil, berbasis kinerja, dan terbuka pada kritik. Ini akan menyulitkan mereka yang ingin menumpang naik.
Ketiga, tempatkan orang-orang bernilai di posisi strategis. Satu orang jujur bisa menghambat sepuluh oportunis. Karena mereka akan menjaga arah, menjaga nilai, dan berani bicara meski tidak menyenangkan, oportunis takut pada orang-orang yang punya prinsip dan keberanian moral.
Keempat, jangan beri akses eksklusif. Oportunis tumbuh subur di ruang-ruang tertutup, maka buat sistem transparan setiap keputusan, program, dan promosi harus bisa ditinjau, semakin terang cahaya, semakin sulit mereka bergerak.
Kelima, beri contoh dari pemimpin. Pemimpin yang adil, tegas, dan tidak mudah dirayu akan menutup peluang oportunis untuk berkembang, ketika pemimpin tegas berkata “saya hanya menghargai kerja nyata”, maka mereka yang hanya ingin menjilat dan memanfaatkan akan mundur sendiri.
Penutup
Mengendalikan orang oportunis bukan soal memusuhi mereka, tapi menyelamatkan organisasi dari pembajakan nilai, kita tidak anti pada ambisi, tapi kita menolak kelicikan, kita tidak benci pada kecerdikan, tapi kita menolak pengkhianatan, karena dalam dunia yang terus bergerak, hanya organisasi yang menjunjung nilai dan menjaga integritas yang bisa berdiri kokoh sementara oportunis hanya akan jadi debu yang tertinggal saat badai kejujuran datang.
Menjilat bukan sekadar kebiasaan buruk itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai, terhadap sesama, dan terhadap masa depan lembaga. Maka mengendalikan penjilatan adalah bagian dari menyelamatkan organisasi dari kemerosotan martabat. Karena kehormatan tak pernah lahir dari lidah yang licin, tapi dari hati yang jujur dan kerja yang sungguh.
Ketahuilah, bangsa ini tidak kekurangan orang miliki hikmah kebijaksanaan. Yang kita kekurangan adalah orang bijak, jujur yang berani berdiri tanpa harus berlindung di balik ketiak kekuasaan, sudah saatnya kita berhenti memberi panggung pada penjilat dan mulai mengangkat mereka yang bekerja dalam diam, mengabdi tanpa pamrih, dan menjaga integritas di tengah badai.
Kita butuh orang-orang bijak yang ingin membangun, bukan mereka oportunis yang hanya ingin berada di tengah bangunan, kita butuh loyalitas kepada nilai, bukan pada figur, dan kita harus sepakat bahwa pengabdian yang tulus jauh lebih berharga daripada kepandaian menari dalam lingkar kekuasaan.
Mengendalikan orang oportunis bukan sekadar mengusir individu, tetapi menjaga arah agar tak dibajak. Kita tidak menolak ambisi selama ambisi itu jujur dan tulus untuk kebaikan bersama.
Tapi kita menolak kelicikan, yang memakai topeng kesetiaan untuk menusuk dari belakang.Organisasi, pemerintahan, bahkan komunitas kecil pun akan hancur jika dikuasai oleh mereka yang hanya ingin memanfaatkan. Namun akan tumbuh kuat jika dipimpin oleh mereka yang menjaga nilai, dan dikelilingi oleh orang-orang yang berintegritas benar.
Karena di dunia yang serba cepat ini, hanya sistem yang bermoral benar bisa bertahan, hanya mereka yang berkarakter hikmah kebijaksanaan, layak memegang amanah. **
Discussion about this post