Jakarta – Gerakan Relawan Keadilan Sulawesi Tenggara (Sultra) melontarkan kritik keras dan menuding adanya permainan oknum pejabat yang menghambat pelaksanaan putusan hukum berkekuatan tetap (inkrah) terkait sengketa lahan milik Koperasi Perikanan dan Perempangan Saonanto (KOPPERSON) di Kendari.
Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh koordinator gerakan, Akbar Rasyid, pihaknya menegaskan bahwa penerbitan penetapan non-eksekutabel oleh Pengadilan Negeri (PN) Kendari adalah tindakan tidak sah, cacat hukum, dan melanggar asas kepastian hukum.
“Penetapan non-eksekutabel itu cacat! Lahan Kopperson jelas, sah, dan telah inkrah sejak 1995. Tidak ada alasan hukum untuk menghalangi eksekusi,” tegas Akbar Rasyid, Rabu (03/12/2025).
Alasan PN Kendari Dianggap “Akal-akalan”
Menurut Akbar, alasan yang digunakan pihak pengadilan—yaitu lokasi lahan Kopperson dianggap “tidak jelas dan HGU mati”—sama sekali tidak berdasar.
Ia memaparkan bahwa keabsahan lahan tersebut sudah sangat jelas, baik secara administratif maupun yuridis, dengan bukti:
Kepemilikan Surat Ukur resmi dari BPN, Kepemilikan sertifikat asli yang dikeluarkan oleh negara, dan Seluruh upaya hukum pihak yang kalah dan pihak ketiga (verzet) sejak tahun 1995 telah selesai dan ditolak, serta sudah berkekuatan hukum tetap.
“Kalau semua upaya hukum sudah habis, dan bukti administrasi lengkap, lalu apa lagi yang dicari? Alasan ‘lokasi tidak jelas’ itu akal-akalan pihak yang ingin menghambat eksekusi,” ujarnya.
Selain dugaan hambatan di ranah hukum, Akbar juga mengungkap adanya intimidasi saat proses konstatering (pencocokan lokasi).
Ia menuding bahwa pihak penyerobot lahan menghalangi, mengancam, dan menciptakan situasi yang intimidatif.
Yang lebih parah, Akbar menilai aparat keamanan gagal memberikan pengamanan maksimal, sehingga proses tersebut terhenti.
“Bagaimana negara bisa kalah dari para penyerobot? Tugas aparat adalah mengamankan pelaksanaan putusan inkrah, bukan membiarkan ancaman dan intimidasi menunda eksekusi,” kritik Akbar.
Gerakan Relawan Keadilan secara tegas menuntut sejumlah lembaga dan pejabat untuk bertanggung jawab dan bertindak cepat: Pertama, Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pengawasan MA.
* Memeriksa dan mengevaluasi pejabat pengadilan yang mengeluarkan penetapan non-eksekutabel tanpa dasar hukum.
* Mengeluarkan fatwa pembatalan penetapan tersebut dan memerintahkan PN Kendari melaksanakan eksekusi.
Kedua, ATR/BPN RI wajib Melakukan audit administrasi pertanahan di Sultra, dan menindak oknum yang menerbitkan dokumen tumpang tindih.
Ketiga, Copot dan Periksa Pejabat yang Dianggap Menghambat. Ketua PN Kendari yang mengeluarkan penetapan non-eksekutabel, Ketua PT Sultra yang dinilai lalai dalam pengawasan, dan Kakanwil ATR/BPN Sultra dan Kakantah Kota Kendari yang diduga menerbitkan sertifikat tumpang tindih, terakhir, Kapolda Sultra yang dinilai gagal memberikan pengamanan saat konstatering.
“Ini bukan sekadar soal tanah. Ini soal marwah hukum negara!” tutup Akbar Rasyid, menegaskan bahwa putusan inkrah wajib dijalankan. Gerakan ini berjanji akan terus menggelar aksi di MA, Kementerian ATR/BPN, dan lembaga terkait hingga eksekusi lahan Kopperson benar-benar terlaksana.
Editor : Agus Setiawan

































Discussion about this post