Langkah Bupati Muna Barat, Darwin, yang menyatakan niat mencalonkan diri sebagai Ketua Partai Golkar, patut dipertanyakan orientasinya terhadap kemajuan daerah ke depan.
Banyak pihak menilai, keputusan ini memperlihatkan ambisi politik yang mendahului tanggung jawabnya sebagai kepala daerah.
Di tengah berbagai persoalan yang masih membelit Muna Barat mulai dari pembangunan yang tersendat, perbaikan infrastruktur dasar seperti jalan dan air bersih, jaringan internet yang belum merata, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas niat Darwin untuk berebut kursi kepemimpinan partai politik dinilai tidak tepat waktu.
Ia dianggap kurang peka terhadap kondisi masyarakat yang sedang berjuang meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Sebagai masyarakat Muna Barat, saya menilai langkah tersebut menunjukkan cara berpikir yang lebih berorientasi pada kekuasaan ketimbang pengabdian terhadap rakyat.
Seharusnya, seorang bupati fokus menuntaskan mandat rakyat sebelum berbicara soal perebutan posisi politik yang lebih tinggi.
Selain itu, niat Darwin juga berpotensi menimbulkan kekhawatiran tentang benturan kepentingan antara jabatan publik dan kepentingan partai.
Masyarakat tentu berhak bertanya: bagaimana bisa yakin kebijakan daerah tidak akan dipengaruhi oleh kepentingan internal partai jika pemimpinnya justru sibuk meniti tangga kekuasaan?
Masyarakat tentu tidak melarang pejabat publik aktif berpolitik. Namun, etika kepemimpinan menuntut adanya sense of timing dan tanggung jawab moral. Rakyat ingin melihat hasil kerja nyata, bukan sekadar ambisi politik yang dipoles dengan narasi pembangunan.
Seorang pengamat politik juga menilai bahwa jika Darwin benar-benar ingin membangun kepercayaan politik yang kuat untuk masa depan, maka ia seharusnya terlebih dahulu membuktikan keberhasilan nyata di Muna Barat.
Sebab, rakyat hari ini semakin cerdas. Mereka mampu membedakan antara pemimpin yang bekerja dengan hati dan pemimpin yang hanya sekadar berambisi.**



































Discussion about this post