Kendari – Klaim bahwa eksekusi sengketa tanah di Lahan Tapak Kuda, Kendari, tidak dapat dilaksanakan karena masa Hak Guna Usaha (HGU) telah berakhir, dinilai sebagai pengambilan potongan pasal yang menyesatkan.
Seorang analis administrasi pertanahan sekaligus praktisi hukum, Fianus Arung, Kuasa Khusus Kopperson Kendari, menegaskan bahwa putusan pengadilan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap) adalah final, mengikat, dan wajib dieksekusi.
“Hukum tidak bisa dicomot seenaknya. Pasal harus dibaca utuh dan dikaitkan dengan asas serta aturan lain. Putusan pengadilan yang inkracht tetap mengikat dan tidak gugur hanya karena masa HGU berakhir,” tegas Fianus Arung, Selasa (30/9).
Menurutnya, dalih HGU berakhir untuk menggagalkan eksekusi adalah upaya yang digunakan demi kepentingan tertentu dan bertentangan dengan prinsip hukum.
Putusan Inkracht Mutlak dan Mengikat
Fianus Arung menjabarkan sejumlah dasar hukum yang membatalkan argumen penghalang eksekusi:
* Kekuatan Res Judicata: Pasal 1917 KUHPerdata dan Pasal 195 ayat (1) HIR menegaskan bahwa putusan yang sudah inkracht memiliki kekuatan final (res judicata) dan wajib dilaksanakan secara paksa melalui eksekusi. Dalih bahwa HGU sudah habis tidak dapat membatalkan perintah pengadilan ini.
* Hukum Perdata Lebih Tinggi dari Administrasi: Walaupun Pasal 34 UUPA dan PP No. 40/1996 menyebut HGU hapus karena jangka waktu berakhir, pasal tersebut tidak pernah menyatakan bahwa hak keperdataan yang sudah diputus pengadilan ikut hapus.
Justru, Pasal 2 ayat (2) huruf g PP No. 18 Tahun 2021 membuka ruang agar tanah negara dapat ditetapkan kembali kepada pihak tertentu, termasuk sebagai tindak lanjut putusan pengadilan.
* Kewajiban Negara Menjamin Kepastian Hukum: Mengacu pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, negara wajib menjamin hak setiap orang atas kepastian hukum yang adil. Jika negara menolak eksekusi dengan alasan tanah sudah kembali ke negara, negara sendiri yang melanggar konstitusi.
Penguasaan negara atas tanah bukan kepemilikan absolut, melainkan mandat untuk mengatur sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Yurisprudensi MA Tegas Melawan Dalih Administratif
Fianus juga menguatkan argumennya dengan sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang secara tegas menolak dalih administratif:
* MA No. 1766 K/Pdt/2001 menyatakan eksekusi tetap sah meski ada perubahan administrasi, karena yang dilindungi adalah hak perdata.
* MA No. 1051 K/Sip/1971 menegaskan alasan administratif tidak boleh menghalangi eksekusi.
“Artinya, putusan inkracht tidak bisa ditawar hanya karena status HGU berubah. Putusan wajib dieksekusi,” tegasnya.
Menghalangi Eksekusi Berimplikasi Pidana
Fianus Arung memberikan peringatan keras kepada pihak-pihak yang berupaya menghalangi proses eksekusi.
Menggunakan dalih “HGU habis” untuk menghalangi eksekusi justru dapat menyeret mereka ke ranah pidana.
Hal ini didukung oleh Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan terutama Pasal 217 KUHP yang secara spesifik menjadikan tindakan menghalangi eksekusi putusan pengadilan sebagai tindak pidana.
“Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Putusan inkracht adalah perintah negara. Eksekusi pasti jalan. Melawan? Siap-siap pidana,” tutup Fianus Arung dengan tegas.
Editor : Agus Setiawan