RADARKENDARI.ID – Utrecht, Belanda – Institut Hak Asasi Manusia Belanda pada 18 Agustus 2025 mengeluarkan putusan yang menyatakan dua perusahaan kapal Belanda terbukti melakukan diskriminasi upah terhadap dua pelaut dari Indonesia dan Filipina.
Putusan ini dianggap sebagai tonggak sejarah yang berpotensi mengubah industri pelayaran Belanda secara signifikan.
Diskriminasi Upah Terhadap Pelaut Indonesia dan Filipina
Dalam putusannya, Institut Hak Asasi Manusia Belanda menegaskan bahwa para pelaut dari Indonesia dan Filipina menerima upah yang jauh lebih rendah dibanding rekan mereka dari Eropa, meskipun mengerjakan tugas yang sama di kapal berbendera Belanda.
Institut tersebut menyimpulkan bahwa praktik ini tidak dapat dibenarkan, baik dengan alasan finansial bagi perusahaan maupun hukum internasional.
“Jika alasan finansial bisa digunakan untuk membenarkan diskriminasi semacam itu, maka peraturan tentang perlakuan yang setara akan kehilangan maknanya,” bunyi pernyataan dari Institut Hak Asasi Manusia Belanda.
Dampak Luas dan Langkah Selanjutnya
Kasus yang diajukan oleh seorang pelaut Indonesia dan seorang pelaut Filipina ini diperkirakan akan berdampak besar bagi industri pelayaran Belanda.
Selama bertahun-tahun, ribuan pelaut dari kedua negara ini mendapatkan upah lebih rendah. Kini, putusan tersebut membuka jalan bagi mereka untuk menuntut kompensasi dan menghapus kesenjangan upah di masa depan.
Yayasan Equal Justice Equal Pay, yang mendampingi kasus ini, menyatakan ribuan pelaut telah menunjukkan minat untuk bergabung dan mendaftar.
Yayasan ini akan menempuh jalur hukum jika Asosiasi Pelayaran Belanda tidak segera memberikan solusi kompensasi.
“Kami berharap para pemilik kapal Belanda menghormati putusan ini. Sudah waktunya diskriminasi terhadap pelaut berdasarkan kebangsaan atau ras diakhiri. Jika tidak, kami akan menegakkannya melalui jalur hukum,” tegas Yayasan Equal Justice Equal Pay.
Latar Belakang Kasus
Praktik membayar upah rendah kepada pelaut dari Indonesia dan Filipina oleh perusahaan pelayaran Belanda telah berlangsung lama, bahkan dengan persetujuan pemerintah.
Kasus ini bermula pada tahun 2023 ketika dua pelaut dari Indonesia dan Filipina mengajukan permohonan ke Institut Hak Asasi Manusia Belanda.
Mereka didukung oleh Yayasan Equal Justice Equal Pay serta firma hukum Rubicon Impact & Litigation (Belanda), Gede Aditya & Partners (Indonesia), dan Leflegis Legal Services (Filipina).
Bagi pelaut yang pernah mengalami diskriminasi serupa, Gede Aditya Pratama, pengacara dari Indonesia, menyebut bahwa mereka masih dapat bergabung dalam kasus ini melalui situs www.seafarersclaim.com/register.
Editor : Agus Setiawan

































Discussion about this post