Kendari – Ratusan pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat lokal dan mahasiswa asal Kabupaten Konawe Utara mulai berkumpul di Pelataran Tugu Religi Kendari menuntut pertanggungjawaban Danrem 143 Haluoleo Brigjen Ayub Akbar, terkait dugaan penutupan sembilan dermaga di blok Marombo, Kabupaten Konawe Utara, oleh oknum yang terafiliasi dengan TNI Angkatan Darat (TNI AD).
Massa menuntut Brigjen Ayub Akbar, mundur dari jabatannya karena diduga terlibat dalam penutupan sembilan jetty yang dilakukan personel TNI AD.
Selain itu, para pengunjuk rasa mendesak perwakilan Ombudsman RI di Sultra untuk mengusut Dandim 1430 Konawe Utara dan Danrem 143 Haluoleo atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kasus penutupan dermaga di Konawe Utara.
Dari pantauan Sultraperdetik.id, sekitar 2.500 demonstran akan berkumpul di depan Markas Korem 143 Haluoleo untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
Sebagai bentuk protes, para demonstran mulai membakar ban bekas di perempatan MTQ Kendari.
Para pengunjuk rasa percaya bahwa tindakan dan penutupan sembilan Jetty di Konawe Utara ini telah menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap ekonomi masyarakat setempat dan berdampak negatif terhadap mata pencaharian banyak orang yang bergantung pada sembilan Jetty di Konawe Utara untuk kegiatan sehari-hari dan kelangsungan ekonomi mereka.
Salah satu Kordinator Massa Aksi menyatakan, “Kami bersatu dengan masyarakat yang terkena dampak dalam menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan untuk penutupan Jetty Resmi di Konawe Utara.
“Sangat penting bahwa mereka yang bertanggung jawab atas tindakan ini dimintai pertanggungjawaban dan bahwa langkah-langkah diambil untuk mencegah insiden serupa terjadi di kemudian hari,” cetusnya.
Massa aksi juga menyoroti adanya indikasi bahwa aparat hukum, terutama fungsi pokok TNI, terlibat dalam menghalangi atau menutup sejumlah Jetty resmi di Konawe Utara, hal tersebut memang patut dipertanyakan.
Kata dia, setiap tindakan yang melanggar hukum atau menghambat aktivitas pertambangan yang sah seharusnya ditangani dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Jika aparat hukum, termasuk TNI, terlibat dalam pengurusan pertambangan, mereka harus tetap beroperasi dalam kerangka hukum yang jelas dan transparan.
“Tindakan yang melanggar undang-undang dan menghalangi aktivitas pertambangan yang sah dapat merusak tatanan hukum dan stabilitas negara,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, rekaman audio yang beredar di Media Sosial, terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang menyeret nama Danrem 143 Haluoleo.
Menurut percakapan yang terekam dan diduga suara Humas PT Bososi, Sudirman mengatakan, sebuah kapal tongkang tiba-tiba muncul dan merapat di Jetty Bososi tanpa konfirmasi atau izin terlebih dahulu dari Manajemen Bososi. Tujuannya adalah untuk mengangkut bijih nikel yang terbengkalai dan sudah ditinggalkan oleh kontraktor sebelumnya.
Di belakang tongkang, beberapa anggota TNI, termasuk anggota Polisi Militer (POM) dan Intel (Intel) TNI, mengaku berada di bawah perintah langsung Danrem Sultra.
“Saya tidak tahu nama mereka, tapi mereka bilang itu Danrem,” ungkap sumber tersebut.
Setelah klarifikasi, Manajemen Bososi menegaskan bahwa tidak ada izin yang diberikan kepada tongkang untuk mengakses situs tersebut karena tidak adanya konfirmasi dari kantor pusat PT Bososi di Jakarta.
Sudirman mengatakan, manajemen Bososi berupaya melibatkan pihak berwenang untuk menghentikan kegiatan tersebut, namun tanggapan yang diterima mengecewakan.
“Siapa pun yang menghalangi, bagaimanapun keadaannya, kegiatan ini akan terus berlanjut kecuali diperintahkan oleh Danrem. Jika Danrem memerintahkan untuk dihentikan, saya akan segera melakukannya. Mereka sangat marah,” kata oknum TNI tersebut.
Lanjut dia, tongkang itu dijaga oleh personel militer, baik berseragam maupun tidak. Beberapa nama yang disebut antara lain Alimin dari POM TNI, Arprin, dan berbagai lainnya. Disebutkan pula Hasbih dari Babinsa, dan mereka sepakat untuk difoto sebagai barang bukti karena ditempatkan di belakang Danrem.
Kegiatan tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Manajemen Bososi berusaha untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi perintah tersebut tetap tidak berubah.
Menurut Sudirman, tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi kegiatan yang diperintahkan oleh Danrem, dan segala persoalan yang timbul akan menjadi tanggung jawab Danrem.
Sudirman menegaskan Manajemen Bososi menganggap ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh Danrem.
Selain itu, dugaan pengambilan paksa bijih nikel dapat dianggap sebagai pencurian karena merupakan milik Bososi.
Berdasarkan Memorandum of Understanding (MOU) sebelumnya antara Bososi dan mantan kontraktor, pengambilan bijih nikel yang tidak sah merupakan pelanggaran.
“Selain itu, penggunaan personel untuk mengintimidasi staf Bososi dan personel keamanan tidak dapat diterima,” tegas Sudirman dalam rekaman tersebut. (Red)
Discussion about this post