Indonesia di gugat Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) karena kebijakan Presiden Joko Widodo menghentikan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa sejak tahun 2020 hingga saat ini.
Kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan bahwa nilai ekspor akan lebih menguntungkan apabila bijih nikel diubah menjadi komoditas yang lebih bernilai.
Dalam gugatan tersebut dimenangkan oleh Uni Eropa, kekalahan ini mengharuskan Indonesia merevisi aturan yang melarang ekspor bijih nikel. Selain itu, membayar ganti rugi kepada Uni Eropa dalam hal ada tuntutan ganti rugi sebesar 5 triliun rupiah sesuai rekomendasi panel WTO.
Kebijakan Indonesia dipandang telah melanggar Artikel XI GATT tentang komitmen untuk tidak menghambat perdagangan, dan Pemerintah pun memutuskan untuk melawan gugatan Uni Eropa atas sengketa DS 592-Measures Relating to Raw Materials tersebut.
Keterlibatan Indonesia dalam WTO dilatarbelakangi pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama.
Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari Doha Development Agenda (DDA).
Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan perdagangan multilateral.
Berdasarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020.
Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai USD12,35 miliar atau tumbuh hingga 263 persen jika dibandingkan tahun 2019.
Sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar. Sejak ekspor bijih nikel dihentikan, Indonesia mengantongi pendapatan hingga Rp 300 triliun dari sebelumnya hanya Rp 20 triliun.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah.
Hilirisasi di sektor mineral dan batubara (minerba) adalah kunci pengoptimalan dari produk-produk pertambangan minerba. Hilirisasi akan menjadi andalan kedepan untuk berkontribusi pada penerimaan negara, selain dari pajak dan dari batubara.
Pemerintah terus berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan hilirisasi industri sektor pertambangan dengan menghentikan ekspor bahan mentah atau raw material produk-produk pertambangan secara bertahap.
Setelah nikel.
Dengan menyetop ekspor bahan mentah nikel menghasilkan nilai tambah yang sangat besar dan bisa dirasakan oleh rakyat. Pembukaan industri baru pengelolaan bijih nikel akan menyediakan lapangan pekerjaan yang sangat luas bagi puluhan ribu bahkan jutaan tenaga kerja yang dapat direkrut.
Keuntungan lainnya, pendapatan bagi negara berupa pajak. Diharapkan dengan adanya hilirisasi industri, semua produk turunan nikel seperti baja, panci, sendok dan lainnya dapat diproduksi. Adanya alih teknologi dan tumbuhnya usaha kecil menengah di sekitarnya, berdampak pada kesejahteraan rakyat meningkat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak salah mempunyai kebijakan agar hasil tambang dapat diolah menjadi komoditas yang bernilai tinggi.
Dengan dihentikannya ekspor bijih nikel, akan dibangun industri-industri pengelolaan bijih nikel menjadi komoditas bernilai tinggi misalkan feronikel yang nilai tambahnya 14 kali dari bijih nikel atau billet stainless steel yang nilai tambahnya 19 kali.
Dengan dihentikan ekspor bijih nikel, pemerintah harus melakukan tindakan mencari investor yang berminat mendirikan industri, aturan hukum yang melindungi hilirisasi industri sumber daya alam, konsistensi ketersediaan bahan baku pengolahan tambang, penampungan komoditas industri hilirisasi baik domestik maupun luar negeri, perlindungan terhadap investor dari perubahan kebijakan, stabilitas politik, pengenaan pajak dan kewajiban investor untuk berkolaborasi dengan pelaku usaha daerah/UMKM dalam menjalankan hilirisasi industri dan alih teknologinya.
Penyelesaian sengketa WTO telah disepakati negara-negara anggotanya menggunakan prinsip sistem multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil.
Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body/DSB). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus.
DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan panel atau keputusan tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan.
Bagi pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu aturan tertentu, seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO.
Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh panel sebelumnya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding (Appelate Body/AB) yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas.
Anggota Appelate Body memiliki masa kerja 4 (empat) tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun.
Keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah, ataupun memutarbalikkan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari batas maksimumnya 90 hari.
DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus.
Pembelaan pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.Keputusan final panel WTO pada tanggal 17 oktober 2022 atas perkara larangan ekspor Indonesia yang disebut dalam sengketa DS 192, WTO memutuskan bahwa kebijakan pelarangan ekspor dan kewajiban dan pengolahan pemurnian mineral di dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO,Melihat putusan itu, Pemerintah menilai masih ada peluang untuk banding terkait larangan ekspor nikel kepada WTO.
Pemerintah Indonesia juga beranggapan tidak perlu ada perubahan peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai tersebut sebelum ada keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB).
Bahkan saat ini pemerintah sedang membahas regulasi yang mengatur ekspor pertambangan dan pajak. Percepatan hilirisasi terbukti membawa dampak pada nilai tambah negara, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong industri akhir pemakai mineral nikel, dan pemerintah akan segera mengumumkan pelarangan ekspor bahan mentah dari bauksit dan tahun tahun kedepan akan menyusul larangan ekspor timah dan tembaga.
Konflik kepentingan
Isu reformasi World Trade Organization (WTO) dilatarbelakangi negosiasi perubahan aturan WTO yang saat ini dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan global sehingga dianggap menghambat penerapan kerja dan kinerja WTO.
Indonesia ikut mendorong reformasi WTO yang yang hanya menguntungkan negara negara maju Uni Eropa. Peran WTO adalah untuk kerjasama antara negara dalam rangka meningkatkan perdagangan barang dan jasa di tingkat internasional , namun ada kalanya terjadi perbedaan kepentingan antar negara anggota yang dapat memicu terjadinya konflik.
Oleh karena itu WTO hadir untuk mengatur dan menfasilitasi dalam mengatasi masalah perdagangan internasional, melalui Dispute Settlement Body.
Kisruh antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) sudah sering terjadi,akibat perbedaan pandangan kedua pihak soal perdagangan berbagai komoditas utama.Konflik keduanya dimulai soal tuduhan dumping produk biodiesel asal Indonesia.
Tak terima dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 8,8 persen-23,3 persen, Pemerintah Indonesia pun menggugat ke World Trade Organization (WTO) yang akhirnya WTO memenangkan gugatan Indonesia. Dengan kata lain UE harus menghapus pengenaan BMAD mulai 16 Maret 2018.
Kisruh kedua, Indonesia – Uni Eropa, lagi-lagi berselisih soal produk minyak sawit mentah (CPO). Pada Desember 2019 lalu Indonesia menggugat UE ke WTO karena pelarangan sawit Indonesia masuk ke UE lewat kebijakan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II).
Sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar dunia, Pemerintah Indonesia merasa didiskriminasi. Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), UE melakukan kampanye hitam dengan mengangkat isu lingkungan untuk memojokkan industri sawit.
Padahal, masalahnya ada di harga sawit yang mengalahkan minyak biji bunga matahari produksi Uni Eropa. Tak hanya UE yang melakukan boikot, Indonesia juga mengancam boikot produk-produk dari benua biru.
Belum selesai permasalahan CPO muncul kisruh ketiga larangan ekspor bijih nikel mentah yang sudah mulai efektif berlaku sejak 2020 lalu. Kisruh kali ini bahkan Jokowi menyamakan WTO dengan VOC jaman Penjajahan
“Hati-hati. Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor,” kata Jokowi dalam sambutannya pada CEO Forum XIII bertajuk ‘Tantangan dan Langkah Percepatan Pemulihan 2023’ di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12/2022).
Indonesia telah mengajukan banding atas gugatan WTO, jika tetap kalah program hilirisasi tak akan berhenti dan kita sedang menyiapkan skema pengenaan pajak ekspor untuk bijih nikel. pemerintah bakal tetap berupaya bijih nikel itu tetap diolah di dalam negeri untuk menghasilkan nilai tambah pada industri hilir domestik. Di sisi lain, pemerintah tengah serius merampungkan regulasi pajak ekspor komoditas hasil olahan bijih nikel, yakni nikel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) yang ditargetkan rampung tahun ini.
Proyek Baterai Tetap Jalan Regulasi pungutan ekspor dua komoditas olahan awal nikel itu diharapkan dapat mengamankan nilai tambah hilirisasi komoditas itu berlanjut di dalam negeri.
Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk mulai mengkaji kebijakan domestic market obligation (DMO) bijih nikel setelah WTO menyatakan Indonesia melanggar ketentuan perdagangan internasional terkait dengan kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral strategis tersebut, usulan itu dapat mengimbangi porsi investasi pada penghiliran nikel dalam negeri seiring dengan kecenderungan pelaku usaha tambang untuk memilih pasar ekspor selepas sentimen putusan panel badan pengatur perdagangan dunia. (*)
Discussion about this post